Sudah kurangkai semua kata-kata indah ini. Tapi sebenarnya
aku juga bingung dan ragu, apakah kata-kata yang kurangkai ini sudah indah dan romantis?
Sedangkan aku adalah orang yang benar-benar jauh dari kata romantis. Tapi untuk
dirimu dan untuk kisah kita yang akan berujung ini, aku rela menjadi orang yang
benar-benar romantis!
“Den, kenapa kamu ajak aku kesini? Restoran ini terkenal mahal
sekali!”
“Ah, sudahlah. Gak usah kamu pikirkan Ren!”
“Tapi kenapa Den? Ini kan bukan hari sepesial buat kita, dan
kenapa juga kamu paksa aku memakai gaun yang kamu belikan secara mendadak
kemarin?”
“Ren..” Aku mulai gemetaran, lidahku tiba-tiba kelu tak bisa
berkata.
“Den, kamu kenapa?”
“Ren.. Aku.. Aku..” Aku mulai terbata-bata ingin mengucapkan
sesuatu yang sudah kukarang semuanya. Untung aku sempat menyalinnya diatas
kertas. Kini tanganku berusaha meraih kertas itu. Tapi semakin dalam aku rogoh
kantong celanaku, kertas itu semakin nyata hilang. Entah terselip dimana?.
“Kamu kenapa Den? Jangan aneh-aneh! Aku jadi takut nih!”
“Aku.. aa..kuu.. sayang kamu Ren.. Aku betul-betul
sa..ya..ngg dengang kam..uu” Aku tergagap bagai Aziz gagap. Ah, sungguh tak romantis!.
“…” Reny terdiam melihat aku gugup hampir mati.
“Ren, aku ingin melamar kamu untuk menjadi istriku.. Aku
ingin semua hubungan ini berujung seperti ini. Aku ingin kamu untuk jadi
istriku, menemani aku.. Selamanya..” Aku benar-benar lepas mengucapkan
semuanya. Sungguh sudah tak kuperdulikan lagi kata-kata indah itu.
“…” Reny masih terdiam.
Aku mengeluarkan cincin yang aku simpan dikantong depan baju
kemejaku yang berwarna putih ini. Aku bersyukur cincin ini tidak ikut hilang
seperti kertas itu. Kuambil jemari tangan kanannya yang lentik itu. Dengan
pelan dan hati-hati serta gemetaran kupasang dijari manisnya.
“Dendra, aku menerima lamaranmu. Aku bersedia untuk menjadi
istrimu.. Istrimu..”
Kulihat Reny menitikkan air matanya, dan aku yakin itu
adalah air mata kebahagiaan.