Kadre

Panasnya sinar matahari disiang bolong ini, sepertinya membuat setiap orang dikota tercintaku, kota Tarakan, enggan untuk bepergian keluar rumah. Ditambah lagi hari ini bertepatan dengan hari libur nasional. Maka  jelaslah sudah, orang-orang lebih senang memilih untuk berleha-leha dirumah. Menikmati udara dingin dari AC, menyalakan kipas angin dengan kecepatan ekstra, serta menikmati minuman dingin nan segar merupakan kegiatan yang paling pas saat ini.

Tapi, itu semua sudah jauh dari pikiranku. Aku lebih memilih menghabiskan waktuku untuk beraktifitas didapur, berderu dengan panasnya kompor dan mengakrabkan diri dengan oven. Kegiatan yang bagiku tidak lazim ini, berawal dari keisenganku saat membaca sebuah buku. Bukanlah sebuah buku motivasi. Tapi buku yang berisi kumpulan cerita dari penulis terkenal 'Dewi Lestari' dengan nama pena Dee. Buku itu bernama Madre.

Pada awalnya aku hanya mengira buku itu hanyalah sebuah buku bacaan biasa. Buku yang aku gunakan untuk menghabiskan waktu yang luang dalam hari-hariku. Hari yang menurutku selalu penuh dengan perasaan gundah gulana dan cemas. Cemas karena menunggu jawaban dari beberapa lowongan kerja yang aku kirimkan sebelumnya. Efek dari yang namanya menganggur.


Pasti kalian sudah bisa menebak. Aku adalah salah satu dari ribuan sarjana yang menganggur dan menjadi beban permasalahan Negara untuk menuntaskannya. Tapi dari sebuah buku yang berjudul 'Madre' ini, aku mendapatkan sebuah ide. Dan bisa berubah menjadi mimpi dan motivasi atau bisa juga hanya menjadi kegilaan jenis baru.

Dari buku itu, aku mendapatkan sebuah ide untuk mencoba membuat roti, bermimpi untuk menjualnya dan sekarang ini aku menjadi orang aneh dengan kegilaan jenis baru. Orang yang sekarang terobsesi dengan 'sesuatu' yang namanya roti dan berbagai resep-resepnya. 

Membuat roti tak semudah dalam anganku. Aku yang tak ada bakat, semakin kerepotan dibuatnya. Harapanku hanyalah pada Ibuku. Meskipun Ibu pintar dalam memasakan masakan rumah. Tapi untuk membuat roti, nilainya jauh dari harapan. Ibu tidak begitu lihai dengan yang namanya roti. Ibu hanya mengajarkanku sebuah resep-resep dasar. Selain itu, hanya mengenalkan beberapa nama dan jenis bahan-bahan pembuat makanan. Cukup itu yang beliau tahu.

'Madre'. Oh, jika memang aku memiliki atau mengenal orang yang ahli dalam membuat roti seperti dicerita itu, tentu tidaklah akan sesulit seperti ini. Banyak pikiran yang melemahkan tekadku ini seperti: 'Apa mungkin aku tidak berbakat? Mengapa seperti ini?'. 

Ketika aku mulai berputus asa, ternyata Ibu memperhatikan aku dari jauh.
"Kamu kenapa?" Tanya ibu yang kini berada didapur yang berantakan oleh tepung.
"Lagi buat roti Bu! Kok susah banget ya?" Aku mengeluarkan keluh kesahku kepada Ibu.
"Ooh, kamu masih penasaran? Ibu kira kamu kemarin hanya iseng. Dan bakal berhenti dengan sendirinya."
"Ndak Bu, entah kenapa saya suka sekali dengan kegiatan ini."
"Memangnya kamu ingin buat roti apa sih Nak?" Tanya Ibu sambil melihat secarik kertas diatas meja dapur sebelah kanan timbangan.
"Buat roti yang simple dulu deh Bu. Pertama mau coba roti tawar dulu. Saya yakin bisa Bu karena gampang. Eh, gak taunya susah tenan."
"Coba Nak, Ibu lihat kertas itu!" Ibu menunjuk kertas disebelah timbangan.
"Kertas ini?" Aku mengambil kertas yang daritadi dilihat oleh Ibu. "Ini Bu!" Aku menyerahkan kertas itu sambil mengelap keringat diatas bibirku.
"Dapat dari mana resep ini?" Ibu bertanya sambil membolak-balik kertas digenggaman tangannya.
"Dari internet. Memang kenapa Bu?" Tanyaku penasaran.
"Sepertinya resep ini salah, ada yang bahan tidak perlu dimasukkan dan ada juga yang kurang." Aku kaget mendengar pernyataan Ibu. "Coba kamu ambil buku dilemari dekat tivi didepan Nak. Kayaknya Ibu dulu pernah menyimpan resep-resep roti dan kue disana."

Dengan bergegas, aku pergi kearah yang dimaksud. Ku acuhkan pertanyaan adekku mengenai bajuku yang penuh dengan tepung diruang depan.
"Dapat Bu!" Aku menunjukkan buku itu dari kejauhan.
"Nah, iya betul!" Jawab Ibu sambil menunjukkan wajah yang penuh semangat.

Pelan tapi pasti, kami berdua belajar membuat adonan. Bagaimana cara menyatukan tepung terigu, air, susu dan ragi instan. "Kita sama-sama belajar, jangan anggap Ibu ini pintar ya Nak!. Jikalau kali ini kita gagal, kamu jangan marah dan putus asa” Ibu berusaha memberikan sebuah wejangan.
"Siap Bu!" Aku menjawab singkat.

Ketika adonan sudah tampak kalis. Aku dan Ibu mulai tersadar apa yang telah terjadi. Kami saling memperhatikan, ternyata baju kami sudah sama-sama penuh tepung. Dan ternyata, bukan hanya dibaju saja. Tapi diwajah kami pun terlihat cemong tepung yang sudah basah oleh keringat. Malah lebih terlihat kalis.
"Nak, ovennya sudah kamu panaskan?"
"Sudah Bu!"
"Baiklah, adonan ini kita letakkan diloyang. Terus dimasukkan ke oven."
"Siiip!" Aku menaikkan dua jempol tanganku.

Selang beberapa waktu kemudian. Roti yang kami buat ternyata sudah matang. Bau wangi khas roti tercium didapur kecil ini. Aku berdoa agar roti kali ini berhasil, tidak bantat dan getir.

Setelah agak dingin, akhirnya aku memilih adekku untuk yang pertama kali mencobanya. Aku berniat demikian, walau sebenarnya hati ini sangatlah penasaran untuk mencobanya sendiri
"Kak, roti apa ini?" Tanya adekku yang masih sekolah tingkat SMA ini.
"Itu roti tawar. Coba aja deh!" Aku menyuruhnya untuk mencoba roti tersebut. Walau dengan sedikit memaksa.
"Hmm..memmm..hemm" suara Adekku yang asik mengunyah roti. "Kak, rotinya enak. Terasa gurih dan ada rasa susunya." Adekku memberi komentar positif.
"Iyaa kah? Enak?" Aku bertanya dua kali, masih tak percaya.
"Iyaa Kak, enak. Betulan!" Adekku berusaha menyakinkan sambil mengangkat jempol tangan kanannya.
Aku yang bahagia segera menemui Ibu sambil membawa sepotong roti yang kami buat. Dengan tersenyum kami beruda bersalaman, penuh suka cita. Roti yang kami buat ternyata sukses, sesuai dengan rasa yang kami inginkan.

"Bu, ntar saya mau buat roti tawar ini yang banyak. Saya mau mencoba menjualnya"
"Menjualnya?" Ibu kaget dengan apa yang kuucapkan. "Ibu kira, itu hanya untuk kepuasan pribadimu."
"Saya menyukai kegiatan ini Bu. Saya mempunyai keinginan untuk mencari rezeki dengan kegiatan yang saya sukai. Jadi dengan menjual roti ini, saya bisa dapat penghasilan."
"Kamu yakin, Nak?" Tanya Ibu sambil melihat diriku yang berapi-api ini.
"Yakin!" Aku menjawab singkat dengan rasa optimis.
"Ya sudah, Ibu berdoa agar kamu sukses dengan apa yang kamu yakinin." Ibu memberi restu.
"Terima kasih ya Bu. Doa Ibu adalah penyemangat saya”. Aku melihat Ibu yang tersenyum aneh. Tampaknya beliau masih bingung dan ragu. Apakah aku seserius dari apa yang aku ucapkan barusan. Tapi bagiku itu bukanlah suatu masalah. Yang penting adalah aku suka. Iya, aku suka!

Dan ada satu hal lagi, roti tawar ini akan aku beri nama 'Kadre'. Kadre yang bila di googling berarti 'Personil' dalam bahasa Sloven seolah memberi arti bahwa roti tawar ini adalah gambaran pribadi dari semangat diriku. Selain itu, Kadre juga merupakan ungkapan terima kasihku kepada buku “Madre” yang menginspirasi. Dan bagiku, sumber inspirasi itu bisa datang dari mana saja. Aku yakin itu. 



Behind The Story:

Darimana ide tentang 'Kadre' itu muncul? 

Kata Kadre berasal dari keisengan ketika menge-twit ke account twitter Dewi lestari. Keisengan yang berasal dari rasa penasaran dan kagum. Akhirnya lahirlah cerita ini.

Tidak ada maksud untuk melecehkan atau apapun yang merugikan dari karya 'Madre' yang bagus itu. Ini murni dari sebuah lamunan yang berbuah cerita. Semoga yang membaca cerita ini bisa terhibur. Hehehe.. *menaikkan-dua-jari; jari telunjuk dan tengah yang membentuk huruf V alias peace..




This entry was posted on Minggu, Juni 24 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply

Hai, senang melihat komen dari kalian.. :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...