Tandi Wijaya*
*Sebuah cerita untuk Claudia Erllavita
Malam setelah promnight…
“Siaaal….” Teriak Vita sekencang-kencangnya didalam kamar. Tidak ada gema yang membalas. Teriakkan itu seolah lenyap begitu saja. Vita menunduk tidak berani memandang cermin didepannya. Vita malu melihat wajahnya sendiri. “Sungguh tak pantas bila aku bersanding dengannya!” ucap Vita putus asa.
Dari sisa kegelisahan yang ada dalam hati, Vita mencoba meraih hape-nya. Dengan segala daya, Vita menumpahkan semua perasaannya pada sebuah tulisan di-note hape-nya. Setelah puas menulis, Vita lalu membuka gallery dan memilih folder foto yang berjudul “my sweetheart”. Tanpa ragu, Vita menekan tombol delete. Dan, dalam sekejap hilang sudah semua file-file tersebut. “Tan, jika engkau tahu… aku benar-benar mencintaimu…” ucap Vita lirih.
***
Delapan tahun kemudian…
“Ibu Vita, bapak direksi memanggil ibu sekarang di ruang rapat…” ucap sang sekretaris melalui line telepon.
“Oke” jawab Vita dengan tegas. Vita lalu bergegas menuju ruangan yang terletak paling ujung.
Didepannya berdiri seorang pria. Kemejanya berwarna putih, celana kainnya berwarna abu-abu dengan garis rapi khas parlente. Pria itu juga memakai sepatu kulit berwarna coklat lembut. Benar-benar sosok yang memiliki kharisma sebagai executive muda. “Perkenalkan ini Tandi Wijaya” bapak direksi memperkenalkan pria tersebut.
“…”
“Loh Ibu Vita kok diam saja?” tanya bapak direksi memecah kesunyian.
“Eh, iya Pak… Saya Claudia Erllavita” Vita membalas tapi tidak berani menatap mata Tan dan direksinya.
“Begini, Bapak Tan ini pemegang saham mayoritas diperusahaan kita. Dan beliau ingin mengembangkan produk kita agar bisa diekspor ke jepang. Kamu kan, kepala marketing produk. Saya harap kamu bisa bekerja sama dengan beliau.”
“Ba.. ba.. baik Pak” ucap Vita terbata-bata. Baru kali ini sosok tegas Vita hilang. Aura ketangguhannya tiba-tiba meredup. Ada sebuah rasa yang telah lama sembunyi muncul kembali dari dalam hatinya. Mata dan jantungnya tidak bisa dibohongi. Ini semua gara-gara pria “my sweetheart-nya” muncul kembali. Cinta tak terucapnya saat SMA dulu.
***
“Hai Ibu Vita” Tan mencoba menyapa
“Eh, iya… ada apa?” Vita yang lagi asyik mengetik agak sedikit kaget.
“Maaf, ibu Vita sudah berkeluarga?” Tanya Tan dengan sopan.
Jederrrr… jantung Vita mulai berdegup. “Belum Pak… kalau bapak Tan, gimana?” Vita seolah tidak percaya telah melontarkan pertanyaan baliknya.
“Saya juga belum…” Jawab Tan sambil berjalan mendekati Vita. “Saya hanya penasaran, karena Ibu Vita sering lembur dan pulangnya malam.”
Sedetil itu dia memperhatikan aku? Ucap Vita dalam hati…
***
Hari berganti bulan, Tan dan Vita sering mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama. Lalu suatu ketika, ada sebuah kejadian yang bikin semuanya berubah.
“Ibu Vita, aku boleh minta tolong?” Tan, tiba-tiba memecah kesunyian saat mereka duduk berdua berhadapan usai rapat dengan klien.
“Eh, iya.. apa ya?” Vita sedikit kaget.
“Ibu Vita, saya ingin …” Tan terdiam. Agak sungkan untuk meneruskan kata-katanya.
Vita juga ikut terdiam. Mata mereka beradu. Dan…
“Jika tidak keberatan, Ibu Vita mau tidak berpura-pura menjadi pacar saya?” Tan melanjutkan kata-katanya.
“….”
“Ibu Vita, tidak bersedia?” Tan mulai pasrah. “Kalau tidak mau, saya juga tidak masalah kok..”
Vita mendengar penekanan kata “kok”. “Tuhan, ada apa ini?” bathin Vita bergejolak.
“Oke, Ibu Vita, anggap saja ucapan minta tolong tadi tidak pernah terucap yaa?!”
Tan tidak tahu apa yang sedang terjadi didalam hati Vita. Hati Vita ingin mengucapkan iya, tapi mulutnya tidak bisa bergerak. Kaku, sama seperti kejadian masa-masa lampau. Saat Vita masih SMA.
***
Malam sudah menunjukkan waktu sepertiganya. Tapi Vita belum bisa terlelap. Pikirannya masih saja terpaku pada ucapan Tan. Meskipun hanya pura-pura sebagai pacar, Vita ingin sekali. Akhirnya, dengan hati yang galau. Vita, mengirimkan sebuah sms tepat dipukul 3 subuh.
To: Tandi
Aku mau. Iya aku mau menolong kamu, untuk menjadi pacar bohongan…
Tak sampai lima menit, ada sms balasan. Vita terkaget, Tandi ternyata belum tidur.
From: Tandi
Terima kasih, hari sabtu aku jemput kamu dirumah.
***
Vita, memakai gaun hitam emas. Sesuai arahan Tandi melalui sms satu hari sebelumnya. Sedang Tandi memaki jas resmi. Benar-benar berwibawa sekali.
“Wah, ini toh pasangan kamu ya Tan?” ucap seorang ibu berpenampilan anggun. Wajahnya terlihat seperti wanita paruh baya yang berkelas.
Tandi hanya tersenyum, “perkenalkan Ma, ini Vita pacar saya…”
Vita yang melihat semuanya mendadak grogi. Bukankah ini hanya bohongan saja. Untuk menyembunyikan kegugupannya, Vita mengadahkan tangannya untuk bersalaman. “Saya Vita bu…”
“Saya Elia, mamanya Tandi. Jangan malu-malu, entar kan kamu bakal jadi mantu saya…” ucap mama Elia secara enteng.
Tandi melihat Vita yang kebingungan. Demi mencairkan suasana, Tandi memegang tangan Vita. “Ma, jangan terburu-buru. Kami butuh penyesuaian lagi. Masih lama untuk kearah sana.”
Karena tangannya dipegang Tandi. Jantung Vita berdegup kencang.
“Ah.. ngapain lama-lama? Bulan depan pokoknya kalian sudah harus menikah. Titik!” Mama Elia terlihat tersenyum.
Vita kaget mendengar perkataan wanita paruh baya didepannya ini. Wajahnya langsung melihat Tandi yang juga mulai salah tingkah. Tampaknya ini diluar skenario.
***
“Tandi bagaimana ini?” Vita bertanya cemas. Mereka kini duduk berdua diruang rapat dalam kantor.
“Maaf, Vit…” Tandi sekarang hanya menyebut nama Vita saja, tanpa menambah kata “ibu” didepannya.
“Maaf gimana?” Vita kembali bertanya.
“Aku sengaja minta tolong sama kamu. Karena Mama memang mendesak untuk aku punya pacar. Jika tidak, mama akan memaksa aku untuk menikahi pilihannya. Aku tidak mau Vit untuk dijodohkan…”
“Tapi, kamu tidak memikirkan perasaan aku Tan?”
“Aku sadar Vit. Dan paham betul, tapi mau gimana ini? Mamaku sepertinya sudah sreg dengan kamu. Jika tidak, aku akan dicoret dari ahli warisnya.”
“Jadi demi ahli waris? Aku tidak mau menjadi korban Tan… aku itu mau menikah dengan pria yang serius dan mencintai aku apa adanya.”
“Tapi Vit, aku mohon bantu aku…” Tandi memelas.
“Maaf Tan, ini bukan film atau drama korea. Ini nyata! Dan aku tidak mau!” Vita menegaskan prinsipnya.
“Vit…” Tandi menjawab pelan. Namun dia menahan kata-katanya. Diam adalah pilihan yang bijak saat ini.
Kini suasana menjadi hening. Benar-benar hening. Hanya bathin mereka yang berbicara saat ini.
***
Seminggu kemudian…
“Ibu Vita serius ingin resign?” ucap bapak direksi kaget tak percaya.
“Iya pak. Saya serius…” Vita berpegang teguh pada kemauannya.
“Jika ada masalah, jelaskan saja. Saya tidak ingin kehilangan pegawai berprestasi seperti anda.”
“Maaf, pak… saya harus resign…”
Bapak direksi diam. Ditatapnya Vita dengan kedua mata. Tapi dia tahu, tak mungkin bisa menahan lagi. “Baiklah ibu Vita… terima kasih atas kerjasamanya selama ini.”
Hati Vita sebenarnya sedih. Karier yang dicapainya tidak mudah untuk diraih. Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak ingin terjerat dengan Tandi.
***
Sebulan ini Tandi banyak merenung. Rekan kerjanya kini bukan Vita, melainkan Bambang. Ada suasana yang berbeda. Hatinya seolah merindukan sosok wanita yang teguh dan berprinsip seperti Vita.
“Tan, kamu itu bagaimana sih? Wanita sebaik Vita bisa kamu putuskan? Awas kamu nyesal!” ucap Mama Elia melalui telepon.
Tandi hanya bisa menjawab, “iya… iya… dan iya..”
Bayangan wajah dan senyuman Vita datang terus menerus dalam ingatan Tandi. “Ada apa ini, Vita... dan Vita saja semua…” ucap Tandi dalam hati. Hatinya mulai bimbang, apakah dia sudah punya “rasa” terhadap Vita?
***
Beberapa hari kemudian…
“Halo… halo… Vita?” Tandi berusaha menelpon Vita.
“Iya, ini siapa?” tanya Vita penasaran.
“Ini aku Tandi… aku ingin berbicara dengan kamu. Kamu dimana?”
Cetek… tut..tuut…tuuuttt…
Vita memutuskan telepon.
Tandi mencoba menghubungi lagi. Dan… telepon itu kini tidak bisa terhubung lagi. “Please, angkat Vita jangan dimatikan…” Tandi bersedih hati.
***
Esoknya…
“Tok..tok..took…” bunyi suara pintu yang diketok oleh Tandi. “Permisi…”
Lima menit kemudian, pintu itu terbuka. Terlihat seorang wanita paruh baya berwajah keibuan dengan celemek yang kotor didepan Tandi. “Iya, anda siapa ya? Ada keperluan apa ya?”
“Maaf bu, saya Tandi… saya ingin bertemu dengan Vita..” ucap Tandi dengan sopan.
“Ooh… maaf Nak Tandi, Vita sedang keluar. Lumayan sudah ada dua jam…”
“Gakpapa Bu, saya boleh menunggu disini?” Tandi memotong ucapan wanita didepannya.
“Oh, boleh-boleh.. Tunggu didalam saja Nak, diruang tamu gak papa kok…”
“Terima kasih bu…” Tandi lalu masuk kedalam dan duduk sambil melihat foto keluarga Vita didinding rumah.
Asyik memandang, matanya melihat sebuah gulungan undangan pernikahan. Karena penasaran dibukanya undangan tersebut. Seketika, keringat dingin mengucur dari dahinya. Belum usai semuanya, tiba-tiba…
“Ngapain kamu disini Tan?” Vita kini berada didepan Tandi.
Tandi diam. Lalu “ini…” ucapnya singkat sambil mengenggam sebuah undangan.
“Iya, itu undangan pernikahanku. Dua minggu lagi aku akan menikah dengan tunanganku.”
“Tunangan?” Tandi kaget tak terkira…
“Iya, kamu kan hanya bertanya apakah aku sudah berkeluarga? Aku memang menjawab belum. Tapi kamu tidak pernah bertanya apakah aku memiliki tunangan…”
“Tapi aku jarang melihat kamu dengan tunanganmu atau pria lain? jangan berdusta!” Tandi tidak percaya.
“Tan… tunanganku ada dijepang. Kami LDR-an selama ini. Namanya sesuai di undangan tersebut. Wajar jika aku dan dia jarang ketemu.”
“Tapi Vit, kenapa harus sekarang kamu menikah?”
“Karena dia sudah tahu semuanya Tan. Aku ceritakan semuanya tentang kita kepada dia…”
Tandi diam menahan semua kata-kata penyesalan didalam hatinya.
“Tan, sehabis menikah aku juga akan ikut dia dijepang. Sebetulnya juga, kami sudah mempersiapkan semuanya selama ini.”
Tandi lalu berdiri, dengan gentle dia menerima kekalahannya. “Maaf Vit, aku sudah menyusahkanmu selama ini. Aku harap kamu bahagia dan menjadi keluarga yang harmonis. Aku juga ingin bilang, sebenarnya aku mencintaimu. Cuman aku lambat menyadarinya…”
“Terima kasih Tan… aku yakin ada wanita diluar sana yang memang pantas untuk kamu…”
Tandi lalu berjalan keluar tanpa menoleh kebelakang.
………
“Loh, Vit… mana temanmu yang laki-laki tadi? Ibu sudah buatkan es jeruk nih…”
“Ah, Ibu telat… sini buat Vita aja. Kebetulan Vita haus…”
“Dasar kamu yaa… buat tamu kok diminum juga?”
“Biarin… daripada mubazir” Vita lalu masuk kedalam sambil membawa belanjaan pernikahannya…
-Tamat-